Sejarah perkembangan hundu di bali|SIWA SIDANTA










Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu secara singkat dimulai sebagai berikut: Weda diperkirakan diwahyukan oleh Hyang Widhi sejak 2500 tahun sampai 1500 tahun Sebelum Masehi.

Weda tidak diwahyukan sekaligus, tetapi bertahap melalui jarak waktu sekitar 1000 tahun dan diterima oleh tujuh Maha Rsi (Sapta Rsi), yaitu: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa.

Para Maha Rsi itu menurunkan wahyu dalam bentuk ajaran-ajaran kepada para pengikutnya. Salah seorang pengikut bernama Bhagawan Abyasa mengumpulkan dan menyusun wahyu-wahyu itu dan menjadilah empat kelompok Weda (Catur Weda), yaitu: Reg Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda.

Para pengikut ketujuh Maha Rsi itu masing-masing mengembangkan ajarannya kepada penduduk sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte dalam penganut Hindu di India yang jumlahnya sampai ratusan.

Sekte-sekte yang terbesar pengikutnya antara lain: Siwa Sidanta, Pasupata, Linggayat, Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dll.

Wahyu yang diterima sulit untuk diresapkan oleh orang awam maka dibuatkan tafsir-tafsirnya dalam bentuk: Brahmana, Upanisad, Wyakarana, Nirukta, Jyotisa, Kalpana, Itihasa, Ayur Weda, Gandarwa Weda, Danur Weda, dan Kama sutra.

Sekte Siwa Sidanta muncul di India Tengah, kemudian berkembang ke India Selatan di bawah pimpinan Maha Rsi Agastya. Salah seorang murid Maha Rsi Agastya mengembangkannya ke Indonesia pada abad ke-8 Masehi.

Ajaran Hindu sekte Siwa Sidanta ini menekankan pada pemujaan Lingga dengan manifestasi Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti: Brahma, Wisnu, Siwa, dan Tri Purusa: Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa.

Perkataan Siwa Sidanta artinya “kesimpulan-kesimpulan ajaran Siwa”. Weda yang didalami disebut Weda Sirah, yaitu Weda yang memuat bagian-bagian penting saja; sirah artinya pokok-pokok.

Ajaran Siwa Sidanta dibawa dari Jawa ke Bali oleh para Maha Rsi generasi abad ke 10 M, yaitu Mpu Kuturan dan Maha Rsi generasi abad ke 14 M, yaitu Danghyang Nirarta.

Mpu Kuturan menyebarkan paham Tri Murti, menulis lontar-lontar, antara lain: Kusumadewa, Ngaben, Dharma Kauripan, membangun Tri Kahyangan dan Sad Kahyangan.

Danghyang Nirarta mengembangkan paham Tri Purusa, bangunan Padmasana, dan Panca Yadnya.

Beberapa lontar yang kini sudah banyak dibukukan yang perlu diketahui oleh penganut sekte Siwa Sidanta, antara lain: Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Bhuwanakosa, Bhagawadgita, Sarasamuscaya, Wedaparikrama, Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra, dan Eka Pratama.

Selain itu uraian-uraian paham yang dianut oleh Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta seperti yang disebutkan di atas perlu juga didalami.

Di toko-toko buku kini banyak tersedia buku-buku Agama Hindu yang tidak jelas menyebutkan apakah penulisnya mengikuti paham sekte Siwa Sidanta atau sekte yang lain.

Itulah sebabnya ada kemungkinan uraian dalam buku yng satu berbeda bahkan bertentangan dengan uraian dalam buku yang lain seperti yang anda jumpai.

Itu pula sebabnya mereka yang belajar Agama Hindu perlu bimbingan seorang Nabe/ Guru agar dapat dipilihkan buku-buku mana yang cocok.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya Catur Marga dalam sujud bakti kita kepada Hyang Widhi. Catur marga itu adalah: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga.

Keempat marga itu sebaiknya dilakukan secara bertahap dimulai dari Bhakti Marga, seperti anak-anak ketika masih kecil hanya mengikuti saja tata cara sembahyang dan mesaiban yang dilakukan ayah/ ibunya tanpa lebih jauh mengetahui Tattwa sembahyang dan mesaiban itu.

Karma Marga juga banyak ditempuh oleh mereka yang hanya menekuni kerja dalam bimbingan Hyang Widhi di kehidupannya. Makin meningkat usia dan meningkat pendidikannya keinginan tahu makin merebak, sehingga bhakti dan karma marga dirasa masih belum memuaskan, lalu menempuh Jnana Marga, yaitu belajar tentang tattwa, srada, upacara, dll.

Bilamana telah banyak mengetahui dan merasa sudah “dekat” pada-Nya, dapat melakukan Yoga Marga, walaupun pada tingkat ini marga-marga yang lain tetap dilaksanakan. Perasaan “dekat” dengan-Nya akan tumbuh sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman spiritual.

Bila keadaan demikian dilaksanakan dengan terarah pada keyakinan mantap pada paham Siwa Sidanta tidak akan terjadi keyakinan yang mengambang.

Selanjutnya, kehidupan beragama sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai kesepakatan nilai-nilai diantara manusia sebagai mahluk sosial. Budaya Bali berbeda dengan budaya Jawa, demikian seterusnya.

Pelaksanaan ritual Agama Hindu dari sekte Siwa Sidanta di Bali akan berbeda dengan ritual Agama Hindu dari sekte yang sama di Jawa, walaupun Tattwa dan Susila-nya sama.

Keragaman ritual lebih diramaikan lagi dengan adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda, acuan lontar-lontar yang berbeda, desa-kala-patra, dresta (kuna dresta, loka dresta, dan desa dresta) dan lain-lain.
Sumber: http://stitidharma.org/