MANTRA SESONTENGAN VS MANTRA HAFALAN

Sarana berkomunikasi dengan siapapun bahkan kepada tuhan harus menggunakan bahasa yang bisa diterima kedua belah pihak, yang dikenal dengan istilah komunikasi linier.

Namun pada kenyataannya masyarakat sangat senang sekali mengungkapkan bahasa yang dirinya tidak faham artinya, karena kena demam latah. Bahkan setingkat sulinggih tak luput dari demam latah ini karena keburu menghafal daripada mengerti arti sesungguhnya.

Penggunaan mantra pada saat upacara saat inipun juga terkesan latah karena jarang bahkan tak seorangpun masyarakat yang mengerti bahasa atau mantra yang didengungkan oleh pemangku ataupun pendeta saat itu.
Lain halnya pada jaman dahulu semua pemangku dan para dukuh menggunakan bahasa masyarakat biasa atau sonteng.

Ketika upacara dilaksanakan dengan bahasa sonteng dan masyarakat mengerti apa yang diungkapkan pendetanya, maka masyarakat sebagai peserta pun akan ikut terlibat secara bathin dan masuk pada energi upacara yang sedang berlangsung.

Apakah memang demikian rapuhnya jiwa masyarakat yang saya sebut diatas sampai terlena dan termakan budak bahasa latah, padahal jauh lebih baik berbahasa yang gampang dimengerti antara kedua belah pihak.

Demikianlah konsep komunikasi linier yang sangat berpengaruh pada pautan energi para pelaksana ritual upacara dan upakarapun akan terlihat sempurna.

Om Astu Tat Astu Ya Nama Swaha.

Kumpulan contoh mantra sesontengan


mantra otonan:

  1. Ne cening magelang benang, apang mauwat kawat mabalung besi
  2. Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu makocok, tungked bungbungan, teked disisi nampedan perahu bencah.

mantra tumpek Uduh, tumpek atag, tumpek wariga

  1. Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin tur ngetor. Netor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeeed. Ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeed.