Tri murti|mpu kuturan|pekraman

TRI MURTI ( AUM )

Mpu Kuturan sangat ahli dalam menata masyarakat Bali pada abad pertengahan dengan konsep TRI MURTI yakni bersatunya semua faham siwa dan buddha . Adapun sampradaya atau sekte itu diantaranya ; pasupataya, ganapataya, bhairawa, siwa, mahayana, indra, kasogathan dan lainnya.

Sesungguhnya kegaduhan diawali terjadi di India  yang disebabkan oleh perbedaan pandangan terhadap sistem ketuhanan khususnya yang berinduk pada faham siwa. Akhirnya Maha Rsi Agastya mampu mempersatukan dengan rumusan siwa sidhantta.
Inilah yang kemudian menggundahkan hati seorang Mpu Kuturan terhadap kegaduhan akan terjadi disini, sehingga dibentuklah sistem Tri Murti yang rumusan itu teraplikasi dimasyarakat menjadi sistem organisasi masyarakat yang bernama KAREMAN / KARA MAN yang berarti " perkumpulan orang-orang berpengetahuan " [ sekarang desa pakraman yang artinya tidak jelas ]. Kareman dengan konsep tri murthi membangun tiga kahyangan yakni Pura Dalem, Bale Agung dan Puseh.

Ajaran siwa sidhantta adalah kesimpulan dari seluruh pemikiran terhadap teori dan sistem keagamaan yang bersumber pada kesiwaan. Ajaran siwa sidhantta ini ketika masuk kepada faham tri murti telah lebur bahkan bersatu dengan faham buddha mahayana dimana Mpu Kuturan sendiri sebagai guru besarnya. Maka dari itu teori tentang dewa siwa [ siwa tatva / siwa purana ] sebagai SOSOK DEWATA yang paling tinggi dialam semesta lebur menjadi pengetahuan yang bercorak MORALITAS yakni dewa siwa menjadi pengetahuan kesadaran seluruh manusia yang berada didalam bathinnya sebagai karakter manusia yang suci dan mulya. Konsep ini diperkuat lagi dengan pandangan lontar Gong Besi, lontar Jnana Sidhantta, lontar Buwana Kosa, lontar Ganepati Tatwa, Wraspati Tatwa ].

Karakter pada prilaku keagamaannya atau terapannya dapat dilihat pada proses penyelenggaraan melakukan upacara yajnya yang dilandasi dengan hari baik [ wariga ], menggunakan banten upakara [ bhairawa yantra ], dipimpin oleh pandhita /sulinggih siwa, buddha dan bujangga [ bukan wangsa siwa, buddha dan bujangga ], setiap upacara menyertakan selalu caru atau bhuta yajnya, sehabis piodalan wajib diadakan hari penyuwung [ konsep sipeng, hening, meditasi dalam ajaran buddha mahayana ], selalu mendak tirta ke gunung [ konsep pasupataya ] dan yang lainnya dapat digali lebih banyak.

Justru saat ini banyak masyarakat kembali pada teori  sampradaya yakni siwa tatwa atau siwa purana dimana dewa siwa menjadi sosok atau tokoh utama dialam semesta sebagai tujuan spiritualitas dengan membangun pura yang mewah dengan hias an dan sanggah yang mahal.
Penggunaan patung dan linggam kembali menjadi budaya baru bagi masyarakat, padahal patung dan linggam ini telah diganti dengan LINGGA DAKSINA dan PADMASANA oleh leluhur terdahulu.

Sedangkan ketika dewa siwa sebagai kesadaran utama manusia yang akan melahirkan kehidupan  manusia dengan MORALITAS yang tinggi sehingga tercipta masyarakat yang damai dan makmur yakni kebaikan, kebajikan, kebijaksanaan, kesucian serta kesejahteraan pasti dapat diciptakan pada kehidupan masing- masing dimasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahkan prinsip moksa sajeroning kahuripan atau suargan di lemah sangat mampu masyarakat dapatkan sehingga kejahatan masyarakat, kotornya politik, korupsi, koalisi dan nepotisme dapat dihentikan oleh diri pribadi masing masing.

Marilah kita kuatkan bersama lagi tentang konsep adiluhung TRI MURTI [ papupuling siwa buddha ] oleh Mpu Kuturan dan para danghyang lainnya sebagai rumusan bangkitnya Hindu Nusantara 2017....,,rahayu ||