DHAMMANUPASSANA Perenungan Pada Objek-Objek Pikiran Sebagai Landasan Melakukan Meditasi

Om Vajra Na Ya Hum
Om Mani Padme Hum
Om Samatha Budhanam Turu Tiri Swaha.

Simpan kecerdasan pikiranmu di angkasa, titipkan seluruh kebahagiaan dibhumi dan lakukanlah seluruh aktivitasmu dengan menjaga dan mengelola hidupmu agar indah dipandang mata masyarakat umum.

Implementasi pikiran-pikiran diawal tahun saka 1941 sebagai aplikasi disiplin ajaran tantra adalah selalu mengamati objek-objek pikiran sebagai dasar melakukan meditasi ( dhammanupassana ).

Sebagai masyarakat yang selalu menjunjung tinggi dan selalu meneladani ajaran leluhur nusantara yang berlandaskan ajaran waishnawa yang melahirkan tiga pilar kebrahmanan yakni kabhujanggaan/bhirawa khusus bertanggungjawab pada metode pembangkitan bathin/rohani, kasiwaan khusus bertanggungjawab pada kesucian buwana alit dan buwana agung, serta kabudhaan bertanggungjawab pada kasuksman menuju kemanunggalan sangkan paraning dumadhi.

Ketiga pilar kebrahmanan ini ini selalu menekankan dan mengarahkan untuk selalu melakukan meditasi khususnya penyelarasan rohani pada konsentrasi penuh pada objek pikiran yang meliputi ;
- rintangan kehidupan
- kemelekatan kehidupan
- pengelolaan indriya
- faktor yang menunjang pencerahan
- landasan kebenaran dalam hidup.
Semua komponen yang membentuk kelima objek pikiran diatas hanya dapat diatasi dengan menyelaraskan serta mengelola menjadi energi positif pada setiap langkah kehidupan.

Rintangan kehidupan yang paling menonjol adalah tumbuh berkembangnya nafsu, sehingga ketika nafsu tidak terpenuhi dengan sempurna akan melahirkan niat jahat, ketika sudah terbiasa berbuat kejahatan maka akan timbul sifat malas, kemalasan akan selalu menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan, dan akhirnya semua konsep kehidupan adalah diragukan. Semua ini diakibatkan oleh kemelekatan kehidupan yang tidak terkendali.

Kalau sudah keragu-raguan menjadi pondasi hidup maka tidak akan pernah ada pencerahan sedikitpun bahkan semua kehidupannya akan menjadi hampa dan frustasi adalah sikap kebenarannya, maka itu mulailah menggali apa yang dimaksud kebenaran yang mulia bahkan pengertian tertinggi dari karmaphala dan landasan berketuhanan sebagai sikap beragama.

Kemarahan dan emosi yang tidak terkendali merupakan sifat dan gerak tubuh mereka yang tidak menyadari kelima rintangan diatas, dan solusi dari sifat tersebut adalah mulailah melakukan meditasi, mulai berbuat yang dilakukan dengan atas dasar landasan indra yang berpedoman pada kecerdasan pikiran ( ekadasa indriya ).

Kegelisahan dan rasa khawatir yang tidak menentu bahkan sudah sampai pada kecemasan yang tinggi merupakan awal keterpurukan hidup, jangankan berbuat sesuatu yang berguna, seluruh pandangan-pandangannya selalu salah akibat keragu-raguan sikapnya. Jangankan melakukan meditasi, seluruh ajaran dianggap salah dan menyimpang akibat kegelisahan bathinnya. Untuk itu perlu dilakukan pendalaman atas faktor-faktor pencerahan bathin.

Seluruh penggalian atas pengetahuan ini hanya diperoleh pada ajaran leluhur nusantara yang masih diwarisi para penekunnya melalui prinsip guron aguron dengan dipaguron ( sangga ) yang dibangun secara tidak permanen namun tetap menggunakan landasan atau  metode kuno yang sangat ketat pada kerahasiaan ajaran dan disiplin prilaku.

Adapun saat ini banyak sekali masyarakat bergerombol menyatakan dirinya memperoleh ajaran berdasarkan weda ( back to weda ) hanyalah tafsir yang naif atas kesejatian weda itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang manusia biasa dijaman sekarang, manusia yang penuh kemunafikan bahkan selalu bermotif serakah dan kemelekatan duniawi yang sangat kuat mampu menafsir weda dengan sempurna, kecuali tafsirnya digunakan hanya untuk menarik simpati para kerbau yang siap dicucuk hidungnya dan siap menyembah tuan saudagar doanya sebagai siwa.

Sebagai puncak lahirnya para champala reshi yang tidak berakar dari paguron kareshian nusantara cukup membuat suasana tidak kondusif diantara para pendeta yang resmi atau sah menurut adat istiadat dan tradisi nusantara.
Kalau memang berniat menunjukan kebrahmanan universal janganlah ikut berbusana pendeta paguron yang ada, berbusanalah ala sampradaya masing-masing bahkan berbusanalah dengan budaya mereka, toh juga dibali tidak ada yang melarang bahkan bisa menjadi bagian keberagaman hindu yang bersifat universal.

Sekali lagi keragu-raguan masyarakat atas ajaran leluhur nusantara sangat diakibatkan oleh metode sampradaya baru yang sama sekali tidak mencerminkan budaya dan tradisi lokal nusantara, begitu gila dan konyolnya memasuki wilayah tradisi namun tidak menghargai komponen tradisi, bahkan sering menyalahkan ibarat memuntahkan makanan yang sudah dimulut pada piringnya sendiri, padahal dia sendiri yang merasakan mual dan muntah namun orang lain yang disuruh merasakannya.

Demikianlah sedikit pemaparan atas metode meditasi yang diarahkan pada ketiga kelompok pilar kebrahmanan yang bersumber dari ajaran waisnawa yang sangat sempurna pada prinsip filsafat, sadhana tapa, brata, yoga dan samadhi serta etika moral sebagai disiplin ajaran.

Ketiga prinsip ini dikompilasi pada kegiatan ritual keagamaan yang bersinergi dari pembangkitan energi kehidupan melalui metode bhirawa, mengelola kesucian dengan metode kesiwaan, dan proses kemanunggalan melalui metode kesempurnaan yang tertinggi yakni manunggaling sangkan paraning dumadhi pada kesadaran utama yakni buddha.

Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, Jaya Wijaya Wijayanti Ajaran Nusantara....Pancasila.