KESUSASTRAAN ADALAH LANDASAN UTAMA SPIRITUALITAS VAJRAJNANA
Kesusastraan adalah cara atau metode leluhur dijaman dahulu menggali, mengkonsep sampai menyimpulkan sebuah inti sari ajaran-ajarannya. Sehingga kesusastraan adalah landasan utama didalam mempelajari kembali ajaran-ajaran leluhur.
Kesusastraan merupakan tubuh ajaran itu, jiwa ajaran, rasa ajaran sampai persepsi ajaran tersebut. Ketika masyarakat tidak memiliki dasar kesusastraan, darimana lantas masyarakat itu mengambil kesimpulan dari sebuah ajaran, maka wajar saja mengalami kebingungan, bahkan tidak sedikit melakukan perdebatan sengit diantara para bhuta sastra.
Kalimat-kalimat yang berderet sebagai mantra ( puja ), yantra ( banten, rajah dan kajang ), dan tantra ( darani ; sebuah ucapan bathin yang siddhi ) adalah kalimat yang bersumberkan dari kesadaran jnana yang maha sempurna kemudian dijadikan wujud sakara yang dikenal kesusastraan pada saat ini.
Kalimat ini merupakan energi dari ajaran-ajarannya yang diwariskan kepada kita, agar senantiasa kita selalu memperoleh berkah dan mamfaat hidup sempurna dialam semesta melalui penggalian dan teladan dari kesusastraannya.
Sosok atau tokoh terhormat saat ini yang hanya memiliki kualitas " menghafal " tanpa pernah memahami ( mangerteni ) kandungan makna dari kalimat sebuah ajaran bisa diibaratkan sebuah burung beo yang sedang mencoba mengikuti bahasa manusia, sehingga bisa saja apa yang dikatakan tidak sesuai dengan kandungan makna kalimat sesungguhnya. Kalau sudah seperti ini, siapa yang harus dipersalahkan, bahkan masyarakatpun dengan segenap kebodohannya menerima dan menikmati bahasa dari si burung beo dengan penuh hikmad.
Ditambah lagi dengan kelakuan masyarakat yang paling berbahaya adalah dengan mengabaikan bahkan sangat apatis dengan kelompok-kelompok peshantian, sanggar sastra serta belajar aksara. Ini adalah bahaya laten yang cepat atau lambat akan menghancurkan peradaban yang mengedepankan jnana kesusatraan, hilangnya pengetahuan dengan metode kesusastraan, lantas darimana lagi akan mencari kemurnian ajaran ?
Bahasa melayu ( malaenesia ) hanyalah bahasa horisontal antar manusia saja, sedangkan komunikasi vertikal antara manusia dengan tuhan sebagaj wujud pengetahuannya tidak bisa dengan bahasa melayu ini, harus menggunakan bahasa vali yang sejatinya adalah aksara modre yakni bahasa para dewata.
Biar tidak bertambah kacau, bertambah puyeng.......cukup sekian dulu redaksi pagi dari padukuhan budhaireng, untuk lebih luasnya pembahasan tentang kesusastraan dan pengaruhnya pada perkembangan spiritual kita, marilah kita adakan pertemuan atau diskusi terbatas tentang kesusastraan dipondok kami, atau dimana saja.
Om Awignam Astu, Na Ma Sakara Swaha.
Kesusastraan merupakan tubuh ajaran itu, jiwa ajaran, rasa ajaran sampai persepsi ajaran tersebut. Ketika masyarakat tidak memiliki dasar kesusastraan, darimana lantas masyarakat itu mengambil kesimpulan dari sebuah ajaran, maka wajar saja mengalami kebingungan, bahkan tidak sedikit melakukan perdebatan sengit diantara para bhuta sastra.
Kalimat-kalimat yang berderet sebagai mantra ( puja ), yantra ( banten, rajah dan kajang ), dan tantra ( darani ; sebuah ucapan bathin yang siddhi ) adalah kalimat yang bersumberkan dari kesadaran jnana yang maha sempurna kemudian dijadikan wujud sakara yang dikenal kesusastraan pada saat ini.
Kalimat ini merupakan energi dari ajaran-ajarannya yang diwariskan kepada kita, agar senantiasa kita selalu memperoleh berkah dan mamfaat hidup sempurna dialam semesta melalui penggalian dan teladan dari kesusastraannya.
Sosok atau tokoh terhormat saat ini yang hanya memiliki kualitas " menghafal " tanpa pernah memahami ( mangerteni ) kandungan makna dari kalimat sebuah ajaran bisa diibaratkan sebuah burung beo yang sedang mencoba mengikuti bahasa manusia, sehingga bisa saja apa yang dikatakan tidak sesuai dengan kandungan makna kalimat sesungguhnya. Kalau sudah seperti ini, siapa yang harus dipersalahkan, bahkan masyarakatpun dengan segenap kebodohannya menerima dan menikmati bahasa dari si burung beo dengan penuh hikmad.
Ditambah lagi dengan kelakuan masyarakat yang paling berbahaya adalah dengan mengabaikan bahkan sangat apatis dengan kelompok-kelompok peshantian, sanggar sastra serta belajar aksara. Ini adalah bahaya laten yang cepat atau lambat akan menghancurkan peradaban yang mengedepankan jnana kesusatraan, hilangnya pengetahuan dengan metode kesusastraan, lantas darimana lagi akan mencari kemurnian ajaran ?
Bahasa melayu ( malaenesia ) hanyalah bahasa horisontal antar manusia saja, sedangkan komunikasi vertikal antara manusia dengan tuhan sebagaj wujud pengetahuannya tidak bisa dengan bahasa melayu ini, harus menggunakan bahasa vali yang sejatinya adalah aksara modre yakni bahasa para dewata.
Biar tidak bertambah kacau, bertambah puyeng.......cukup sekian dulu redaksi pagi dari padukuhan budhaireng, untuk lebih luasnya pembahasan tentang kesusastraan dan pengaruhnya pada perkembangan spiritual kita, marilah kita adakan pertemuan atau diskusi terbatas tentang kesusastraan dipondok kami, atau dimana saja.
Om Awignam Astu, Na Ma Sakara Swaha.