UPACARA HOMA ADALAH KOMPILASI AJARAN CATUR MARGA DAN SANGHYANG CATUR WEDA.
Bagi sebagaian masyarakat yang belum terbiasa menggali dan memahami hubungan antara pelaksanaan upacara yajnya dengan mamfaat yajnya itu sendiri, maka upacara yajnya tersebut dapat dikatakan tidak berdasarkan pengetahuan, melainkan hanya sebuah tradisi belaka.
Tradisi masyarakat hanya berdasarkan tutur tinular ( gugon tuwon ), hanyalah prilaku masyarakat dengan hukum adat yang mengayominya. Tradisi hanyalah hasil kebudayaan masyarakat yang dikembangkan dalam kurun waktu tertentu saja, tanpa mampu memberi pengertian tertinggi dari pengetahuan yang mendasarinya.
Yajnya yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan adalah sebuah wujud keterhubungan masyarakat kepada alam semesta dan kehidupan rohani-rohaninya dalam bentuk atau visual yang hanya meyakinkan masyarakat telah membayar hutang atas apa yang diperolehnya selama hidupnya. Ada beberapa jenis yajnya yang dimiliki masyarakat, namun masih kategori bhakti atau pemujaan saja, walaupun dicarikan dasar atau landasan weda sebagai payung hukumnya.
Sesungguhnya pelaksanaan yajnya atau ritual-ritual yang diselenggarakan oleh para praktisi tantra kuno hampir keseluruhan yajnya tersebut merupakan kompilasi atau gabungan dari keempat jalan ( marga ) yang juga berdasarkan dari catur weda sebagai payung hukumnya. Keempat jalan tersebut diantaranya bhakti, karma, jnana dan raja serta sanghyang catur weda sebagai payungnya yakni regweda, yajurweda, samaweda dan athrawaweda.
Sedikit saya paparkan latar belakang ritual homa yajnya dari tantra kuno yang berdasarkan atas prilaku catur marga, dan berdasarkan atas sanghyang catur weda, adalah ;
Homa dijabarkan secara gamblang didalam regweda sebagai ritual upakara yang tertinggi, karena para peserta ritual adalah para brahmana, serta dalam pelaksaan ritual homa tersebut hampir keseluruhan merupakan prinsip penciptaan wujud kehidupan yang diinginkan, pada saat ini prilaku para brahmana tersebut sedang memainkan konsep rajayoga. Sedangkan wujud energi yang diciptakan disebut sanghyang divarupa yang lahir dari kekuatan siddhi para manggala-manggalanya. Filsafat ini dijabarkan didalam ayat-ayat regweda.
Pada proses pelaksanaan homa yajnya ini, wujud api yang digambarkan sebagai inti penciptaan dilambangkan sebagai intisari bahan baku dari alam semesta yakni api, air dan bayu, serta dihiasi dengan wujud energinya berupa aksara sebagai lambang yantra sebagai filsafat ajaran, inilah wujud jnana marga itu yang bisa difahami dalam yajurweda.
Seluruh tindakan yang dilakukan oleh para peserta homayajnya mewakili dari keseluruhan para sura, asura, apsari, widyadari, yaksa, prita serta para toh ghaib lainnya, didalam filsafat ajarannya disebut dengan bhirawa sebagai pelibatan harmonisasi isi alam, maka tindakan para peserta homayajnya ini adalah inti dari filsafat karma marga, dan dapat digali dalam samaweda.
Setelah dihasilkan sebuah wujud divarupa sebagai sosok dewata yang akan menjadi surya atau dewa yang akan dilinggakan, sebagai pengayom dan penanggungjawab tempat dimana masyarakat itu berada, maka pada saat itu para manggala tersebut juga melakukan pemujaan sebagai penghormatan atas wujud ciptaannya, ini adalah wujud bhakti marga itu sesungguhnya. Filsafat bhakti yang sesungguhnya dapat digali dan difahami didalam athrawaweda.
Masyarakat sebagai pemohon ritual homayajnya ini akan selalu menghormati para brahmana sebagai manggala upacara sebagaj wujud sosok suci, dan prilaku masyarakat yang seperti ini merupakan kebajikan tertinggi daripada tindakan lainnya , ditulis dalam kitab kuno sbb ;
Yam kinci ittham va hutam va loke - samvaccharam yajetha punnapheko
Sabbam pi tam na catu bhagameti - abhivadana ujjugatesu seyyo.
Pertanyaannya adalah bagaimana masyarakat bisa memahami konsep yajnya, menggali pengetahuan-pengetahuannya kalau masyarakat itu hanya berkutat diwilayah tradisi saja, tanpa pernah menguliti tradisi dan mencari dasar filosopynya. Ketika masyarakat mampu dan ada niat tukus untuk membuka tabir rahasia dari pelaksanaan yajnya tersebut, sehingga masyarakat akan sangat terbuka dengan prilaku kegiatan yajnya apapun, begitupula seperti yang dijabarkan dalam Bagawad Gita bahwa masyarakatlah yang menciptakan tradisi, masyarakatlah yang mengembangkan budaya, sesuai dengan kurun waktu dan segala kondisi yang memungkinkan. Pada saat inilah pengetahuan weda akan bisa dikatakan universal, dan akan selalu menjadi payung hukum seluruh umat manusia diatas bhumi ini.
Demikianlah sekilas tentang pelaksanaan ritual homayajnya yang dilakukan para leluhur kuno yang bersumber dari kitab suci sanghyang catur weda, dengan tradisi dan budaya dwipayana yang utuh tanpa pariasi dari budaya asing yang mencoba mengakui sebagai sumber ajaran dwipayana yang kita hormati ini.
@menghormati orang suci dengan belajar pengetahuan-pengetahuannya, jauh lebih baik dari kita sendiri melaksanakan yajnya tanpa mengetahui dasar pelaksanaan dan payung pengetahuan sucinya.
Om astu tat astu ya nama swaha.
Tradisi masyarakat hanya berdasarkan tutur tinular ( gugon tuwon ), hanyalah prilaku masyarakat dengan hukum adat yang mengayominya. Tradisi hanyalah hasil kebudayaan masyarakat yang dikembangkan dalam kurun waktu tertentu saja, tanpa mampu memberi pengertian tertinggi dari pengetahuan yang mendasarinya.
Yajnya yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan adalah sebuah wujud keterhubungan masyarakat kepada alam semesta dan kehidupan rohani-rohaninya dalam bentuk atau visual yang hanya meyakinkan masyarakat telah membayar hutang atas apa yang diperolehnya selama hidupnya. Ada beberapa jenis yajnya yang dimiliki masyarakat, namun masih kategori bhakti atau pemujaan saja, walaupun dicarikan dasar atau landasan weda sebagai payung hukumnya.
Sesungguhnya pelaksanaan yajnya atau ritual-ritual yang diselenggarakan oleh para praktisi tantra kuno hampir keseluruhan yajnya tersebut merupakan kompilasi atau gabungan dari keempat jalan ( marga ) yang juga berdasarkan dari catur weda sebagai payung hukumnya. Keempat jalan tersebut diantaranya bhakti, karma, jnana dan raja serta sanghyang catur weda sebagai payungnya yakni regweda, yajurweda, samaweda dan athrawaweda.
Sedikit saya paparkan latar belakang ritual homa yajnya dari tantra kuno yang berdasarkan atas prilaku catur marga, dan berdasarkan atas sanghyang catur weda, adalah ;
Homa dijabarkan secara gamblang didalam regweda sebagai ritual upakara yang tertinggi, karena para peserta ritual adalah para brahmana, serta dalam pelaksaan ritual homa tersebut hampir keseluruhan merupakan prinsip penciptaan wujud kehidupan yang diinginkan, pada saat ini prilaku para brahmana tersebut sedang memainkan konsep rajayoga. Sedangkan wujud energi yang diciptakan disebut sanghyang divarupa yang lahir dari kekuatan siddhi para manggala-manggalanya. Filsafat ini dijabarkan didalam ayat-ayat regweda.
Pada proses pelaksanaan homa yajnya ini, wujud api yang digambarkan sebagai inti penciptaan dilambangkan sebagai intisari bahan baku dari alam semesta yakni api, air dan bayu, serta dihiasi dengan wujud energinya berupa aksara sebagai lambang yantra sebagai filsafat ajaran, inilah wujud jnana marga itu yang bisa difahami dalam yajurweda.
Seluruh tindakan yang dilakukan oleh para peserta homayajnya mewakili dari keseluruhan para sura, asura, apsari, widyadari, yaksa, prita serta para toh ghaib lainnya, didalam filsafat ajarannya disebut dengan bhirawa sebagai pelibatan harmonisasi isi alam, maka tindakan para peserta homayajnya ini adalah inti dari filsafat karma marga, dan dapat digali dalam samaweda.
Setelah dihasilkan sebuah wujud divarupa sebagai sosok dewata yang akan menjadi surya atau dewa yang akan dilinggakan, sebagai pengayom dan penanggungjawab tempat dimana masyarakat itu berada, maka pada saat itu para manggala tersebut juga melakukan pemujaan sebagai penghormatan atas wujud ciptaannya, ini adalah wujud bhakti marga itu sesungguhnya. Filsafat bhakti yang sesungguhnya dapat digali dan difahami didalam athrawaweda.
Masyarakat sebagai pemohon ritual homayajnya ini akan selalu menghormati para brahmana sebagai manggala upacara sebagaj wujud sosok suci, dan prilaku masyarakat yang seperti ini merupakan kebajikan tertinggi daripada tindakan lainnya , ditulis dalam kitab kuno sbb ;
Yam kinci ittham va hutam va loke - samvaccharam yajetha punnapheko
Sabbam pi tam na catu bhagameti - abhivadana ujjugatesu seyyo.
Pertanyaannya adalah bagaimana masyarakat bisa memahami konsep yajnya, menggali pengetahuan-pengetahuannya kalau masyarakat itu hanya berkutat diwilayah tradisi saja, tanpa pernah menguliti tradisi dan mencari dasar filosopynya. Ketika masyarakat mampu dan ada niat tukus untuk membuka tabir rahasia dari pelaksanaan yajnya tersebut, sehingga masyarakat akan sangat terbuka dengan prilaku kegiatan yajnya apapun, begitupula seperti yang dijabarkan dalam Bagawad Gita bahwa masyarakatlah yang menciptakan tradisi, masyarakatlah yang mengembangkan budaya, sesuai dengan kurun waktu dan segala kondisi yang memungkinkan. Pada saat inilah pengetahuan weda akan bisa dikatakan universal, dan akan selalu menjadi payung hukum seluruh umat manusia diatas bhumi ini.
Demikianlah sekilas tentang pelaksanaan ritual homayajnya yang dilakukan para leluhur kuno yang bersumber dari kitab suci sanghyang catur weda, dengan tradisi dan budaya dwipayana yang utuh tanpa pariasi dari budaya asing yang mencoba mengakui sebagai sumber ajaran dwipayana yang kita hormati ini.
@menghormati orang suci dengan belajar pengetahuan-pengetahuannya, jauh lebih baik dari kita sendiri melaksanakan yajnya tanpa mengetahui dasar pelaksanaan dan payung pengetahuan sucinya.
Om astu tat astu ya nama swaha.
Post a Comment
mari bertukar pikiran dikolom komentar