Resiko kegagalan dalam menafsirkan ayat Bhagawad Gita

 SIGNAL LONTAR ROGA SEGARA BHUMI.

Resiko kegagalan dalam menafsirkan ayat pada kitab suci tertentu khususnya Bhagawad Gita, merupakan wabah penyakit sosial bagi masyarakat seperti kegilaan yang tidak disadari, kecanduan lelaku yang tak tahu etika sosial, bahkan bisa menghancurkan tradisi yang telah ada karena dianggap tidak sesuai dengan alam pikiran chandunya.

Dalam Siwā sidhāntta sebagai landasan beragama Hindu Nusantara dipaparkan tentang sosok-sosok yang hidup dialam ini sejak ribuan tahun. Salah satunya dikenal dengan sosok Detya, yakni wujud berkepala besar, otak cerdas, sedikit rambut dan memiliki sifat yang selalu haus dengan debat tentang ayat dan sloka-slokanya demi untuk dikatakan sebagai orang yang beriman.

Sosok Detya sangat merindukan keindahan, maka hampir seluruh rangkaian hidupnya dihiasi dengan bunga dan patung-patung aneh bak boneka dari India. Hidup bagaikan di Surga adalah impian mereka, Widhyadara-Widhyadari adalah tujuan hidupnya saat mendatang dan dari sekaranglah mereka hidup bagaikan di Surga.

Sosok Detya juga merindukan nyanyian-nyanyian merdu yang menggugah dirinya bagai biduwan dan biduwanita, dimanapun dia berada selalu menyanyi dan mengajak semua orang untuk berdendang bahkan menarikan tarian dewa. Mereka tidak kenal yang namanya orang gila, bahkan kegilaan dirinya itulah wujud Gandharwa yang sedang lila di surga, yang menjadi harapan hidupnya kedepan jikalau telah mati.

Mereka akan menjadi sumber penyakit di masyarakat atas tindakan liarnya, sumber kemelaratan karena telah menghilangkan berbagai macam yajnya, sumber penderitaan hidup karena telah memungkiri ibu pertiwi yang seraya selalu memuja langit yang kosong. Serta terkutuk ulah menyeleweng dari ajaran para leluhur akibat sistem misionarisasi asing yang ingin mengaburkan sejarah bangsanya....inilah sifat Bhuta dalam ajaran Jnāna tattva.

Mereka juga merupakan sumber energi perusak kepada kawan-kawannya yang masih teguh menggali ajaran leluhur, bahkan akan terus memberikan racun dan karma keburukan pada aliran pengetahuan yang sejati khususnya di Nusantara, maka sesungguhnya mereka adalah kawanan dari TriBhuta yang selalu menyusup pada jiwa jiwa lemah masyarakat Nusantara, para praktisi Mahayana mengenal sebagai sumber kedukhaan dan penderitaan.

Pemahaman kami yang bersumber pada Siwa Sidhåntta tidaklah terlalu sulit untuk mendeteksi sifat-sifat Detya dan Bhuta diatas, maka dari itu kobarkan api pemurnian kepada mereka, usir dengan panasnya api homa mandala nusantara dan tancapkan bendera Bhômāntaka.

Seluruh pemahaman tentang pemurnian alam ini sesungguhnya telah ditegaskan dalam lontar Roga Segara Bhumi yang memfokuskan pada sadhana pemurnian alam oleh para Bhujangga yang disempurnakan oleh Sang Bhuda dan Sang Siwa Sogatha. 

Karena demikian karena diprediksi oleh para leluhur saat itu bahwasanya bhumi telah ditinggalkan oleh para dewa dan digantikan oleh para bhuta ( salah satu bunyi ayat dalam lontar tsb ). Maka sudah sangat benar jika apa yang terjadi saat ini adalah ulah para bhuta dan kawanannya.

Pertanyaannya adalah ;* kenapa kita tidak siap dengan ganguan para bhuta, bahkan kenapa sampai ada pembiaran para bhuta menyusup pada tubuh-tubuh lemah saudara kita ?

Inilah peran lembaga pengayom umat, para tokoh agama yang berlatarbelakang sarjana, para sosok suci yang telah melampoi kasunyataan dan para pemangku adat yang memiliki kekuasaan. Apapun langkah pasti untuk membasmi para bhuta ini lakulanlah bagaikan bangsa yang sedang diserang musuh, silahkan saja asalkan umat terselamatkan !